Penerjemahan dan Budaya

translation_articles_icon

ProZ.com Translation Article Knowledgebase

Articles about translation and interpreting
Article Categories
Search Articles


Advanced Search
About the Articles Knowledgebase
ProZ.com has created this section with the goals of:

Further enabling knowledge sharing among professionals
Providing resources for the education of clients and translators
Offering an additional channel for promotion of ProZ.com members (as authors)

We invite your participation and feedback concerning this new resource.

More info and discussion >

Article Options
Your Favorite Articles
Recommended Articles
  1. ProZ.com overview and action plan (#1 of 8): Sourcing (ie. jobs / directory)
  2. Réalité de la traduction automatique en 2014
  3. Getting the most out of ProZ.com: A guide for translators and interpreters
  4. Does Juliet's Rose, by Any Other Name, Smell as Sweet?
  5. The difference between editing and proofreading
No recommended articles found.

 »  Articles Overview  »  Art of Translation and Interpreting  »  Translation Theory  »  Penerjemahan dan Budaya

Penerjemahan dan Budaya

By Nababan, PhD | Published  10/21/2008 | Translation Theory | Recommendation:RateSecARateSecARateSecARateSecARateSecA
Contact the author
Quicklink: http://esl.proz.com/doc/2074
Author:
Nababan, PhD
Indonesia
inglés al indonesio translator
 
View all articles by Nababan, PhD

See this author's ProZ.com profile





1. Pendahuluan

Judul makalah ini mengandung dua kata kunci, yaitu penerjemahan dan budaya. Ke duanya terkait satu sama lain. Ketika seseorang menerjemahkan suatu teks, dia tidak hanya mengalihkan pesan tetapi juga budaya. Proses pengalihan pesan teks bahasa sumber dipengaruhi oleh budaya penerjemah, yang tercermin dari cara dia dalam memahami, memandang, dan mengungkapkan pesan itu melalui bahasa yang dia gunakan.
Pengalihan pesan dalam proses penerjemahan selalu ditandai oleh perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan ini secara langsung akan menempatkan penerjemah pada posisi yang dilematis. Di satu sisi, dia harus mengalihkan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran secara akurat. Di sisi lain dan dalam banyak kasus dia harus menemukan padanan yang tidak mungkin ada dalam bahasa sasaran. Sebagai akibatnya, persoalan ketaktakterjemahan linguistis dan kultural tidak dapat dihindari.
Pada hakekatnya, teori penerjemahan sudah menyediakan pedoman untuk mengatasi masalah-masalah penerjemahan. Namun, sebagai pedoman umum, teori penerjemahan tidak selalu dapat diterapkan untuk memecahkan persoalan ketak terjemahan yang timbul dalam peristiwa komunikasi interlingual tertentu. Bahkan, suatu padanan untuk suatu ungkapan dalam bahasa sumber yang sudah lazim digunakan, diterima dan dianggap benar oleh pembaca teks bahasa sasaran, apabila dianalisis secara mendalam, bukan merupakan padanan yang seratus persen benar. Kata bahasa Inggris breakfast, misalnya, dipadankan dengan sarapan dalam bahasa Indonesia. Padanan ini sudah lazim digunakan dan dianggap benar. Akan tetapi, jika fitur semantis dari ke dua kata itu ditampilkan ke permukaan, kita baru menyadari bahwa konsep yang dikandungnya berbeda satu sama lain. Demikian pula dengan kata farmer dan petani. Dari sudut pandang penutur asli bahasa Inggris, farmer identik dengan orang kaya karena tanah yang dimilikinya sangat luas. Sebaliknya, dari sudut pandang penutur asli bahasa Indonesia, seorang petani pada umumnya dimasukkan dalam kategori orang miskin.

2. Hubungan antara Penerjemahan dan Budaya

Penerjemahan merupakan proses pengalihan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Tujuan praktis dari proses pengalihan pesan itu ialah untuk membantu pembaca teks bahasa sasaran dalam memahami pesan yang dimaksudkan oleh penulis asli teks bahasa sumber. Tugas pengalihan ini menempatkan penerjemah pada posisi yang sangat penting dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila ilmu pengetahuan dan teknologi dipahami sebagai bagian dari budaya, secara tidak langsung penerjemah turut serta dalam proses alih budaya.

Tujuan praktis penerjemahan, seperti yang telah disebutkan di atas, acapkali terlupakan oleh penerjemah. Ada terjemahan yang sudah secara setia menyampaikan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, tetapi bahasa yang dia digunakan tidak bisa dipahami oleh pembaca dengan baik. Ada pula terjemahan yang tampak “cantik” dan wajar, tetapi pesannya menyimpang jauh dari pesan teks aslinya. Jika kasus seperti ini sering terjadi, tujuan praktis penerjemahan itu tidak tercapai dengan baik. Terjemahan yang demikian dianggap telah menghianati tidak hanya penulis teks asli tetapi juga pembaca teks terjemahan (Damono, 2003).

Tujuan penerjemahan pada dasarnya tidak hanya oleh ditentukan oleh penerjemah tetapi juga oleh klien (orang yang memberi tugas penerjemahan) dan pembaca teks bahasa sasaran.

Terjemahan merupakan alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, terjemahan mempunyai tujuan komunikatif, dan tujuan komunikatif itu ditetapkan oleh penulis teks bahasa sumber, penerjemah sebagai mediator, dan klien atau pembaca teks bahasa sasaran. Penetapan tujuan itu sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya serta ideologi penulis teks bahasa sumber, penerjemah, dan klien atau pembaca teks bahasa sasaran (Nababan, 2004).

Jika seandainya penerjemah dapat secara mandiri memutuskan tujuan penerjemahan atas dasar pemahaman dia terhadap isi teks bahasa sumber, dia akan dapat melakukannya secara imparsial. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan dalam kegiatan penerjemahan acapkali dipengaruhi oleh klien dan pembaca, yang memperlakukan penerjemah sebagai “tukang jahit pakaian”, yang harus tunduk pada keinginan pelanggan, bukan sebagai pakar yang mempunyai kekuasaan penuh karena dia memiliki pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman di bidang penerjemahan yang barangkali tidak dimiliki oleh klien atau pembaca.
Itulah sebabnya, dalam mengevaluasi kualitas terjemahan, perhatian kita sebaiknya tidak hanya terfokus pada produk semata tetapi juga pada proses penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah ketika dia menghasilkan suatu karya terjemahan (Nababan, 2003).

Seperti yang telah disebutkan pada bagian pendahuluan, terdapat hubungan timbal balik antara penerjemahan dan budaya. Penerjemahan tidak sekedar proses pengalihan pesan tetapi juga budaya, dan budaya sendiri berpengaruh pada penerjemahan.

Apa yang dimaksud dengan budaya? Dalam ruang lingkup Studi Penerjemahan, budaya mempunyai pengertian yang sangat luas dan menyangkut semua aspek kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh aspek sosial (Snell-Hornby, 1995: 39). Konsep budaya ini didefinisikan oleh Goodenough (1964), Gohring (1977), dan Newmark (1988) sebagai berikut:

As I see it, a society’s culture consists of whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage, must consist of the end product of learning: knowledge, in a most general, if relative, sense of the term. By this definition, we should note that culture is not a material phenomenon; it does not consists of things, people, behavior, or emotions. It is rather an organization of these things. It is the forms of things that people have in mind, their models for perceiving, relating, and otherwise interpreting them. As such, the things people say and do, their social arrangements and events, are products or by-products of their culture as they apply it to the task of perceiving and dealing with their circumstances. To one who knows their culture, these things and events are also signs signifying the cultural forms or models of which they are material presentations ...(Goodenough, 1964: 36).

Culture is everything one needs to know, master and feel in order to judge where people’s behavior conforms to or deviates from what is expected from them in their social roles, and in order to make one’s own behavior conform to the expectations of the society concerned – unless one is prepared to take the consequences of deviant behavior (Gohring dalam Snell-Hornby, 1995: 40).

... the way of life and its manifestations that are peculiar to a community that uses a particular language as its means of expressions (Newmark, 1988: 94).


Dari definisi ini dapat ditarik empat hal pokok. Pertama, budaya merupakan totalitas pengetahuan, penguasaan dan persepsi. Kedua, budaya mempunyai hubungan yang erat dengan perilaku (tindakan) dan peristiwa atau kegiatan. Ketiga, budaya tergantung pada harapan dan norma yang berlaku dimasyarakat. Keempat, pengetahuan, penguasaan, persepsi, perilaku kita terhadap sesuatu diwujudkan melalui bahasa. Oleh karena itu, bahasa dan budaya, serta bahasa dan perilaku mempunyai hubungan yang sangat vital. Sementara itu, bahasa merupakan ungkapan tentang budaya dan diri penutur, yang memahami dunia melalui bahasa.

Konsep bahwa bahasa adalah budaya, dan budaya diwujudkan melalui perilaku kebahasaan, dapat pula diterapkan dan dikaitkan pada bidang penerjemahan. Bukankah penerjemahan juga merupakan tindak komunikasi interlingual, yang perwujudannya sangat dipengaruhi oleh budaya pengguna bahasa? Barangkali itu sebabnya pakar penerjemahan, House (2002), berpendapat bahwa seseorang tidak menerjemahkan bahasa tetapi budaya, dan dalam penerjemahan kita mengalihkan budaya bukan bahasa (h.92). Pendapat ini sejalan dengan pandangan bahwa budaya merupakan satuan terjemahan, bukan kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf atau teks, (Nord, 1997) yang seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari penerjemah.

3. Masalah yang Timbul dalam Penerjemahan karena Faktor Budaya

Sifat ketergantungan budaya pada harapan dan norma yang berlaku di masyarakat, dan perbedaan budaya teks bahasa sumber dari budaya teks bahasa sasaran membuat penerjemahan sangat sulit dilakukan. Dalam kaitan itu, Nida (1975) mengatakan:

.....translators are permanently faced with the problems of how to treat the cultural aspects implicit in a cource text (SL) and finding the most appropriate technique of successfully conveying these aspects in the target language (TL) (h. 130).

Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Dollerup dan Lindegard (1993):

Translators should strive to transmit an image of the source culture to the target receptors that corresponds to the image the target culture would claim for itself (h. 72).

Masalah yang timbul dalam penerjemahan pada dasarnya dapat dikaitkan dengan tiga faktor utama. Faktor pertama adalah kemampuan penerjemah. Jika seseorang tidak mempunyai kompetensi (kebahasaan, kultural, transfer) dan ketrampilan di bidang penerjemahan, dia tidak akan mungkin dapat melakukan tugas penerjemahan dengan baik. Oleh sebab itu, sebutan “penerjemah” yang diberikan kepada seseorang mengandung konsekuensi yang sangat berat. Sebagai pelaku utama dalam proses penerjemahan, dia dituntut harus mampu menghasilkan terjemahan yang bisa dipertanggung jawabkan.
Faktor kedua adalah faktor kebahasaan. Pada umumnya, sistem bahasa yang dilibatkan dalam penerjemahan berbeda satu sama lain. Secara morfologis dan sintaksis, bahasa Inggris, misalnya, berbeda dari bahasa Indonesia. Sebagai akibatnya, ada kalanya penerjemah dihadapkan pada masalah ketakterjemahan linguistis (linguistic untranslatability) (Catford, 1974).
Faktor ketiga adalah faktor budaya. Faktor budaya ini sebenarnya tumpang tindih dengan faktor kebahasaan apabila bahasa dipandang sebagai budaya atau bagian dari budaya.

Terlepas dari hal tersebut, faktor budaya seringkali menimbulkan ketakterjamahan, yang lazim dalam bahasa Inggris disebut sebagai cultural untranslatability (Catford, 1974). Ketakterjemahan karena perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran akan dibahas lebih lanjut di bawah ini.
Perbedaan Sudut Pandang. Perbedaan cara atau sudut pandang terhadap sesuatu tidak bisa dipisahkan dari budaya penutur suatu bahasa. Dalam budaya penutur asli bahasa Batak Tapanuli, menyebut nama depan pria yang sudah menikah merupakan tindakan yang tidak sopan. Untuk menghindarinya digunakanlah sebutan seperti tulang Simanjuntak, lae Panjaitan amani Ryan, atau ompu Tito. Sebaliknya, dari sudut pandang budaya penutur asli bahasa Inggris, tidak ada perbedaan dalam menyebut nama pria yang sudah atau belum menikah. Sebutan Mr., misalnya, digunakan dan disertai dengan nama belakang walau dalam kegiatan berbahasa sehari-hari mereka sering menghilangkan kata Mr. itu dan menyebut nama depan mereka. Perbedaan sudut pandang itu jelas menimbulkan persoalan tersendiri bagi penerjemah. Bagaimanakah seharusnya ungkapan Amani Ryan, aha kabar (Papa Ryan, apa kabar)? diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris?. (Ryan’s Father, how are you?). Perbedaan sudut pandang seperti ini juga terjadi dalam bidang politik. Orang Indonesia akan menyebut, Timor Timur sudah berintegrasi dengan Indonesia. Sebaliknya orang Australia akan mengatakan, East Timor has been annexed by Indonesia.

Perbedaan Perangkat Mental (Mental Sets). Setiap bahasa mempunyai apa disebut sebagai perangkat mental (mental sets) yang digunakan oleh pemiliknya untuk menggambarkan suatu realita.

Language, too, has its mental sets: it is through them we ‘picture’ reality in words. These mental sets may be overlap between one language and another, but rarely match exactly, and it is the translators’s difficult task to bring them as close as possible (Duff, 1984: 17).

Seperti yang telah disinggung pada bagian pendahuluan, penutur asli bahasa Inggris mempunyai perangkat mental untuk breakfast dan penutur asli bahasa Indonesia mempunyai perangkat mental untuk sarapan. Ada hal sama dari keduanya, bahwa kegiatan itu dilakukan pada pagi hari . Akan tetapi, fitur semantik kedua kata itu sangat berbeda satu sama lain. Ketika penutur asli bahas Inggris mendengar kata breakfast, yang terpikir oleh mereka ialah roti, kopi campur susu tanpa gula. Sebaliknya, jika seseorang mengatakan, “Yuk sarapan”, yang terpikir oleh kita barangkali adalah nasi, telur, tahu, tempe, indomie, dan teh manis atau air putih. Kasus-kasus seperti ini banyak terjadi dalam penerjemahan. Summer (musim panas) di Selandia Baru tidak sehangat yang kita bayangkan, dan suhu pada musim panas di Houston, Texas lebih tinggi daripada suhu musim kemarau di Indonesia.

Ketiadaan Padanan. Perbedaan budaya antara teks bahasa sumber dan bahasa sasaran menimbulkan ketakterjemahan budaya (cultural untranslatability). Ketakterjemahan budaya di sini dapat menyangkut masalah ekologi, budaya materi, budaya religi, budaya sosial, organisasi sosial, adat istiadat, kegiatan, prosedur, bahasa isyarat, dsb (lihat Newmark, 1988: 95).

Ada kemungkinan bahwa suatu konsep yang terkait dengan budaya (baik abstrak maupun konkrit) dapat diungkapkan dalam bahasa sasaran tetapi konsep tersebut sama sekali tidak ada dalam budaya bahasa sasaran. Seperti yang telah diuraikan dalam 4.2., konsep yang berhubungan dengan ekologi (misalnya, musim semi) sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia. Namun, kita hanya mengenal musim kemarau dan musim penghujan. Dalam banyak kasus, konsep budaya yang dimaksud tidak mempunyai padanan dan tidak dikenal dalam budaya bahasa sasaran. Rumah Joglo, misalnya, tidak mempunyai padanan dalam bahasa Inggris dan konsep ini tidak dikenal dalam budaya penutur bahasa Inggris. Hal yang sama juga terjadi pada kata yang terkait dengan nama makanan (botok), nama organisasi sosial (Rukun Tetangga, Rukun Warga), kegiatan sosial (arisan).

Pakar penerjemahan menawarkan berbagai strategi untuk memecahkan masalah padanan yang disebabkan oleh faktor budaya (lihat Newmark, 1988; Baker, 1992; Hervey dan Higgins, 1992). Strategi-strategi yang ditawarkan perlu dicermati diterapkan secara seksama agar tidak bertentangan dengan tujuan penerjemahan itu sendiri. Transplantasi budaya yang ditawarkan oleh Hervey dan Higgins (1992), misalnya, cenderung menghasilkan saduran, bukan terjemahan. Demikian juga dengan konsep addition of information harus dipahami sebagai upaya untuk membuat terjemahan mudah dipahami oleh pembaca sasaran tanpa mengaburkan pesan teks bahasa sumber.



Daftar Acuan

Baker, M. 1992. In Other Words: A Coursebook on Translation. London: Sage Publication.
Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation. London: Longman.
Damono, S.J. 2003. “Menerjemahkan Karya Sastra.” Makalah disajikan dalam Kongres Nasional Penerjemahan, di Tawangmangu, 15-16 September 2003.
Dollerup, C dan Lindegard, A. 1993. Teaching Translation and Interpreting 2. Philadelphia: John Benjamins.
Duff, A. 1984. The Third Language. Great Britain: Pergamon Press.
Goodenough, W.H. 1964. “Cultural Anthropology and Linguistics.” In Dell Hymes (ed.). Language in Culture and Society: A Reader in Linguistics and Anthropology. New York: Harper & Crow.
Hervey, S., & Higgins, I. 1992. Thinking Spanish Translation: A Course in Translation Method: French to English. London: Routledge.
House, J. 2002. “Universality versus Culture Specificity in Translation.” Dalam Alessandra Ricardi (ed.). Translation Studies: Perspective on an Emerging Discipline. Cambridge: Cambridge University Press.
Nababan, M.R. 2004. “Kecenderungan Baru dalam Studi Penerjemahan”, Makalah disajikan dalam Semiloka Penerjemahan yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Jogyakarta pada tanggal 23 Juli 2004.
Nababan, M.R. 2003. “Arah Penelitian Penerjemahan”, Makalah disajikan dalam Kongres Nasional Penerjemahan, di Tawangmangu, 15-16 September 2003.
Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice-Hall International.
Nida, E. 1975. Language Structure and Translation. Standford, California: Standford University Press.
Nord, C. 1997. Translating as a Purposeful Activity: Functional Approaches Explained. Manchester, UK: St. Jerome Publishing
Snell-Hornby, M. 1995. Translation Studies: An Integrated Approach. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.



Copyright © ProZ.com, 1999-2024. All rights reserved.
Comments on this article

Knowledgebase Contributions Related to this Article
  • No contributions found.
     
Want to contribute to the article knowledgebase? Join ProZ.com.


Articles are copyright © ProZ.com, 1999-2024, except where otherwise indicated. All rights reserved.
Content may not be republished without the consent of ProZ.com.