This site uses cookies.
Some of these cookies are essential to the operation of the site,
while others help to improve your experience by providing insights into how the site is being used.
For more information, please see the ProZ.com privacy policy.
This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Affiliations
This person is not affiliated with any business or Blue Board record at ProZ.com.
English to Indonesian - Rates: 0.06 - 0.10 USD per word / 30 - 50 USD per hour Indonesian to English - Rates: 0.06 - 0.10 USD per word / 30 - 50 USD per hour
English to Indonesian: Modern Recording Techniques General field: Tech/Engineering Detailed field: Electronics / Elect Eng
Source text - English Sound file bit rates
The bit rate of a digitally recorded sound file directly relates to the number of quantization steps that are encoded into the bitstream. As a result, the bit rate (or bit depth) is directly correlated to the:
Accuracy at which a sampled level (at one point in time) is to be encoded
Signal-to-error figure … and thus the overall dynamic range of the recorded signal.
If the bit rate is too low to accurately encode the sample, the resolution will lead to quantization errors, which will lead to distortion. On the other hand, too high of a bit depth might result in a resolution that’s so high that the resulting gain in resolution is lost on the audience’s ability to discriminate it … or the storage requirements might become so high that the files become inordinately large.
Although other sound file bit rate standards exist, the following are the most commonly used within the pro, project and general audio production community:
16 bits: The long-time standard of consumer and professional audio production, 16 bits is the chosen bit depth of the CD-audio standard (offering a theoretical dynamic range of 97.8 dB). It is generally considered to be the minimum depth for high-quality professional audio production. Assuming that high-quality converters are used, this rate is capable of lossless audio recording, while conserving on memory storage requirements.
20 bits: Before the 24-bit rate came onto the scene, 20 bits was considered to be the standard for high-bit-depth resolution. Although it’s used less commonly, it can still be found in high-definition audio recordings (offering a theoretical dynamic range of 121.8 dB).
24 bits: Offering a theoretical dynamic range of 145.8 dB, this standard bit rate is often used in high-definition audio applications, often in conjunction with the 96k sample rate (i.e., 96/24).
Further reading on sound file and compression codec specifics can be found in Chapter 10 (Multimedia).
Regarding digital audio levels
Over the past few decades, the trend toward making recordings that are as loud as possible has totally pervaded the industry to the point that it has be given the name of “The Loudness War.” Not only is this practice used in mastering to make a song or project stand out in an on-air or in-the-pocket playlist … it has also followed in the analog tradition of recording a track as hot as possible to get the best noise figures and punch. All of this is arguably well and good, except for the fact that in digital recording a track at too “hot” a level doesn’t add extra punch—it just adds really nasty distortion.
The dynamic range of a digital recording ranges from its floor signal level (00000000 00000000) for a 16-bit recording to its full-scale headroom ceiling of (11111111 11111111). Average or peak levels above full scale can easily ruin a recording. As such, since digital has a wider dynamic range than analog, it’s always a good idea to reduce your levels so that they peak from -12 to -20 dB. This will accurately capture the peaks without clipping, without introducing an appreciable amount of noise into the mix. Recording at higher bit rates (i.e., 24 bits) will further reduce noise levels, allowing for increased headroom when recording at reduced levels. Of course, there are no standard guidelines or reference levels (digital meters aren’t even standardized, for the most part) … so you might want to further research the subject on your own.
Translation - Indonesian Bit rate file suara
Bit rate dari sebuah file suara yang direkam secara digital berkaitan langsung dengan jumlah langkah kuantisasi yang disandikan ke dalam aliran data. Hasilnya, bit rate (atau bit depth / kedalaman bit) berkorelasi langsung dengan:
Akurasi di mana sebuah level yang disampel (pada satu titik waktu) disandikan
Angka sinyal-terhadap-error … dan dengan demikian keseluruhan rentang dinamika dari sinyal yang terekam.
Jika bit rate-nya terlalu rendah untuk dapat menyandikan sampelnya secara akurat, resolusinya akan menyebabkan quantization error / kesalahan kuantisasi, yang akan menyebabkan distorsi. Di sisi lain, kedalaman bit yang terlalu tinggi mungkin menghasilkan resolusi yang sangat tinggi hingga manfaat dalam resolusi yang dihasilkan tidak mampu dibedakan oleh penonton ... atau kebutuhan tempat penyimpanan mungkin menjadi begitu tinggi hingga file menjadi terlampau besar.
Meskipun standar bit rate file suara lainnya ada, berikut ini adalah yang paling umum digunakan dalam komunitas produksi audio profesional, proyek dan umum:
16 bit: Standar lama dari produksi audio kelas konsumer dan profesional, 16 bit adalah kedalaman bit pilihan untuk standar CD-audio (menawarkan jangkauan dinamika teoretis sebesar 97,8 dB). Ini umumnya dianggap sebagai kedalaman minimum untuk produksi audio profesional berkualitas tinggi. Dengan asumsi menggunakan konverter berkualitas tinggi, kedalaman ini sanggup menghasilkan rekaman audio lossless, dan juga menghemat kebutuhan tempat penyimpanan memori.
20 bits Sebelum 24 bit muncul, 20 bit dulunya dianggap sebagai standar untuk resolusi kedalaman bit tinggi. Meskipun sekarang sudah jarang digunakan, ini masih dapat ditemukan di rekaman audio berdefinisi tinggi (menawarkan jangkauan dinamika teoretis sebesar 121,8 dB).
24 bit: Menawarkan jangkauan dinamika teoretis sebesar 145,8 dB, bit rate standar ini sering digunakan dalam aplikasi audio berdefinisi tinggi, seringkali bersamaan dengan sample rate 96k (yaitu 96/24).
Bacaan spesifik lebih lanjut tentang file suara dan codec kompresi dapat ditemukan dalam Bab 10 (Multimedia).
Mengenai level audio digital
Dalam beberapa dekade terakhir, kecenderungan untuk membuat rekaman hingga sekeras mungkin, telah benar-benar merasuki industri musik hingga telah memunculkan nama "The Loudness War" ("Perang Kebisingan"). Tidak hanya praktek ini digunakan dalam mastering untuk membuat sebuah lagu atau proyek terdengar menonjol saat on-air atau dalam playlist saku ... hal ini juga mengikuti tradisi rekaman analog yang merekam sebuah track hingga "sepanas mungkin" untuk mendapatkan angka noise paling sedikit dan suara yang "nendang". Semua ini bisa dikatakan baik dan bagus, kecuali untuk fakta bahwa dalam rekaman digital, track yang direkam pada level yang terlalu "panas" tidak membuatnya lebih "nendang"—hal itu cuma menambah distorsi yang sangat jelek.
Rentang dinamika dari sebuah rekaman digital berkisar dari level sinyal terbawah (00000000 00000000) untuk rekaman 16 bit hingga batas tertinggi headroom-nya secara total (11111111 11111111). Level rerata atau puncak yang berada di atas batas tertinggi dengan mudahnya bisa merusak sebuah rekaman. Dengan demikian, karena digital memiliki rentang dinamika yang lebih luas daripada analog, mengurangi level anda hingga mencapai puncaknya pada -12 hingga -20 dB tetap merupakan ide yang baik. Hal ini akan menangkap ujung-ujungnya secara akurat tanpa clipping, tanpa memunculkan sejumlah noise yang cukup besar ke dalam mix. Merekam pada bit rate yang lebih tinggi (misalnya 24 bit) akan lebih jauh mengurangi level noise, memungkinkan peningkatan headroom saat merekam pada level yang lebih rendah. Tentu saja, tidak ada patokan standar atau level acuan (bahkan sebagian besar meter digital tidak distandarisasi) … jadi anda sendiri mungkin ingin meneliti subjek ini lebih jauh.
English to Indonesian: What Is The Dark Side? General field: Science Detailed field: Physics
Source text - English The Large Hadron Collider (LHC) is the largest and most expensive physics experiment in history. It has a series of goals, none of them modest. One is to find the elusive Higgs Particle, the object (or should we call it a field?) that is thought to permeate the Universe and to give everything its mass.
And another is to discover the nature of dark matter. It is a good thing that this huge machine has been built, because dark matter is one of the biggest embarrassments in science and its nature one of the biggest unsolved mysteries.
Unlike some of the other problems in this book, dark matter is something of a blank slate; we really do not have an inkling of what it is or where it came from. It is as mysterious as human consciousness. About 4% of the total ‘stuff’ (mass + energy) in the Universe is thought to be composed of well-behaved ordinary matter, the stuff of stars and planets, you and me. Dark matter, whatever it turns out to be, accounts for another 22% (so there is five and a half times as much invisible matter in the Universe as there is visible matter). The rest is made up of dark matter’s even madder and more mysterious cousin, dark energy, of which more later.
We have some ideas as to the nature of dark matter, but nothing concrete. And thanks to the construction of vast atom-smashers like the LHC we may find ourselves going from a position of total ignorance to total understanding about one of the biggest mysteries in the Universe in a matter of just a few years or even months. Now that would be an extraordinary result.
Dark matter is by far the most common ‘stuff’ in the Universe, and yet no one has really the faintest clue what it is. It is hoped that the very high energies generated by the collisions in the LHC will blast the particles that form dark matter out of hiding. Whether we will ever be able to get to grips with dark energy remains to be seen.
Dark matter has been bothering cosmologists for some time. Since the 1930s, astronomers have been uncomfortably aware that the amount of matter visible in the cosmos is not nearly enough to account for the movement of the stars and galaxies that we observe.
In 1933, the Swiss astronomer Fritz Zwicky, working at the California Institute of Technology (Caltech), analyzed the movement of a cluster of galaxies and discovered that it could only be accounted for if a large amount of unseen mass – far greater than the visible stuff, which is mostly stars – was lurking in the area. This anomaly has now been seen everywhere we look. The large, visible objects in the Universe (the galaxies and the stars in them) behave as if huge amounts of invisible matter are pulling them about.
So the search for the Universe’s missing matter has become one of the biggest stories in science. Theories have abounded. Maybe the dark matter is just ordinary stuff that is hard to see – rocks, asteroids, lone planets and brown dwarf stars too dim for their light to be detected. Or maybe it is made of vast clouds of gas and dust.
Some of the missing matter is undoubtedly just this, but most of it cannot be. This much ordinary matter would leave an unmistakable mark in the form of re-radiation of electromagnetic energy, which we simply do not observe. No, most physicists now believe that dark matter is composed of some novel subatomic particle. A current front-runner is a hypothetical particle called the axion. Proposed in 1977 to clean up a few equations involving the strong nuclear force (one of the fundamental forces of nature), axions make good candidates for the dark matter particle because they have very little mass (although they certainly have some) and will barely interact with matter.
Translation - Indonesian Large Hadron Collider (LHC) adalah eksperimen fisika terbesar dan termahal sepanjang sejarah. Itu memiliki serangkaian tujuan, tak satupun darinya sederhana. Salah satunya adalah untuk menemukan partikel Higgs yang sulit dideteksi, yaitu objek (atau sebaiknya kita sebut medan?) yang diperkirakan menembus seluruh Semesta dan memberi massa pada semua benda.
Dan yang lainnya adalah untuk menemukan sifat dasar dari materi gelap (dark matter). Bagus sekali kalau mesin raksasa ini dibangun, karena materi gelap adalah salah satu hal memalukan terbesar dalam sains dan sifat dasarnya adalah salah satu misteri terbesar yang belum terungkap.
Tidak seperti masalah-masalah lain di dalam buku ini, materi gelap bisa dikatakan adalah sebuah papan kosong, kita sama sekali tidak memiliki prasangka apapun tentang apakah hal itu atau dari manakah hal itu berasal. Itu sama misteriusnya dengan kesadaran manusia. Sekitar 4% dari total ‘benda’ (massa + energi) di dalam Semesta diperkirakan tersusun dari materi umum yang berkelakuan biasa, yaitu materi-materi yang menyusun bintang-bintang dan planet-planet, Anda dan saya. Materi gelap, entah terbukti sebagai apapun natinya, bertanggungjawab atas 22% materi lainnya (jadi ada lima setengah kali lebih banyak materi tak terlihat di Semesta daripada yang terlihat). Sisanya tersusun dari sepupu materi gelap yang lebih gila dan misterius, yaitu energi gelap (dark energy), yang selebihnya nanti kita bahas.
Kita memiliki beberapa ide tentang sifat dasar materi gelap, tapi tidak ada yang konkret. Dan, berkat pembangunan penghantam-penghantam atom berukuran besar seperti LHC, kita mungkin mendapati diri kita berpindah dari posisi sama sekali tidak tahu menuju pemahaman total tentang salah satu misteri terbesar di Semesta hanya dalam waktu beberapa tahun atau bahkan bulan. Nah, itu baru sebuah hasil yang luar biasa.
Materi gelap sejauh ini adalah ‘benda’ paling umum di Semesta, namun tak ada satupun yang benar-benar memiliki sedikit gagasan tentang apakah hal itu. Diharapkan bahwa energi dalam jumlah besar yang dihasilkan oleh hantaman-hantaman di dalam LHC akan mengeluarkan partikel pembentuk materi gelap dari persembunyiannya. Apakah kita akan pernah sanggup memahami materi gelap tetap belum terjawab.
Materi gelap telah sekian lama menyusahkan para kosmologis. Sejak 1930-an, para astronom telah menyadari bahwa jumlah materi terlihat yang ada di jagat raya tidak hampir cukup untuk dapat menjelaskan pergerakan bintang-bintang dan galaksi-galaksi yang kita amati.
Pada 1933, astronom Swiss bernama Fritz Zwicky, yang bekerja di California Institute of Technology (Caltech), menganalisis pergerakan sebuah kluster galaksi dan menemukan bahwa hal itu hanya dapat dijelaskan jika sejumlah besar massa tak terlihat – jauh lebih banyak dari massa terlihat, yang sebagian besar adalah bintang-bintang – bersembunyi di area tersebut. Anomali ini sekarang telah tampak di manapun kita melihat. Objek-objek besar dan terlihat di Semesta (galaksi-galaksi dan bintang-bintang di dalamnya) berkelakuan seolah-olah sejumlah besar materi tak terlihat sedang menarik mereka di sekitarnya.
Jadi, pencarian materi yang hilang dari Semesta telah menjadi salah satu cerita terbesar dalam sains. Teori-teori telah melimpah banyaknya. Mungkin materi gelap hanyalah benda-benda biasa yang sulit dilihat – bebatuan, asteroid, planet tunggal dan bintang-bintang kerdil coklat yang cahayanya terlalu redup untuk dideteksi. Atau mungkin itu terbuat dari awan gas dan debu yang sangat banyak.
Sebagian dari materi yang hilang memang tak diragukan lagi hanya ini, tetapi sebagian besar tidak. Materi yang jauh lebih biasa ini akan meninggalkan jejak yang jelas dalam bentuk re-radiasi dari energi elektromagnetik, yang tidak kita amati sama sekali. Tidak, kebanyakan para fisikawan sekarang percaya bahwa materi gelap tersusun dari suatu partikel subatomik baru. Sebuah ide terdepan saat ini adalah sebuah partikel hipotetis yang disebut axion. Diajukan pada 1977 untuk membersihkan beberapa persamaan yang melibatkan gaya nuklir kuat (salah satu dari gaya-gaya fundamental di alam), axion menjadi kandidat terbaik untuk materi gelap karena mereka memiliki massa sangat kecil (meskipun mereka pasti memiliki sedikit massa) dan hampir tidak akan berinteraksi dengan materi.
English to Indonesian: Transport Planning and Traffic Engineering General field: Tech/Engineering Detailed field: Construction / Civil Engineering
Source text - English 1.3.3 Impact on rail freight
Notwithstanding the growth in Britain's economy, rail freight tonne-kilometres declined by about 63 per cent between 1951 and 1993, while road freight tonne-kilometres increased by over 365 per cent. The growth in road freight is undoubtedly due to the efficiency and flexibility associated with using larger lorries to travel greater door-to-door distances more quickly. New developments in manufacturing, like just-in-time production with its demand for punctual delivery, require fast and frequent transport facilities and are therefore likely to intensify the demand for road-based freight transport in the future (see the large projected growth in Table 17.13). This is happening at a time when the tonnes-lifted of bulk commodities (which are most suitable for transport by rail) are in decline.
Nearly three quarters of the rail tonne-kilometres are now devoted to the movement of only four commodities: solid mineral fuels (28 per cent), minerals and building materials (20 per cent), petroleum products (14 per cent) and metal products (12 per cent). However, the Channel Tunnel (operationally opened 1993) has the potential to generate at least a partial renaissance for intermodal rail transport by providing significant journeytime savings vis-à-vis heavy commercial road vehicles involved in direct international freight haulage.
1.3.4 Impact on the environment
The growth in the numbers and usage of the motor vehicle has taken its toll of the environment in many ways, not least of which is through road congestion and vehicle noise and emissions. Road accidents (see Chapter 18) are also a major cost in both monetary and human terms.
Congestion
As well as imposing high costs on industry and road users through wasted time and fuel, delayed deliveries and reduced reliability, congestion increases air pollution, global warming and the usage of (scarce) oil resources. In urban areas, it encourages traffic to use unsuitable residential roads, thereby endangering the quality of life of adjacent householders. Overall, congestion costs in OECD countries are equivalent to about 2 per cent of GDP.
Congestion in urban areas in Britain is currently being tackled by government policies which, mainly, seek better integration of land use and transport planning, greater use of public transport in towns, and packages of traffic management measures aimed at easing traffic flows on main roads; proposals for major road building proposals in urban areas are not being encouraged. However, there is also considerable interest in Britain at this time (and elsewhere) into the feasibility/desirability of using road pricing to reduce congestion on urban roads. Congestion on inter-urban roads is being tackled by the provision of an expanded road programme (which emphasises the widening of existing major roads) and by the use of improved technology (e.g. variable message systems and signalised access-metering) to maximise ease of movement. The promotion of increased rail usage as a means of reducing congestion on inter-urban roads is considered to have limited practical value; for instance, it is estimated that a 50 per cent increase in rail passenger traffic would reduce road traffic by less than 5 per cent.
Traffic noise
Noise from vehicles disturbs sleep, impairs job performance, impedes the learning process (especially in schools close to busy roads), hinders social activity and verbal communication, and affects health through stress generated by frustration from lack of sleep and a general deterioration in the quality of life. Many studies suggest that to comply with desirable limits for well-being indoors, the representative outdoor noise level experienced during a 24-hour day should not exceed 65 dB(A). About 11 per cent of Britain's population are known to have been regularly exposed to outdoor noise levels in excess of 65 dB(A) in the early 1980s while a further 39 per cent lived in 'grey' areas of 55-65 dB(A).
The traffic noise problem is being tackled to a limited extent by both legislative measures and traffic engineering ones. For example, from 1995 any new design of car must not exceed 74 dB(A) when accelerating in low gear at full throttle; the new limit for the heaviest type of commercial vehicle is 80 dB(A) and new motorcycles must not exceed 75-80 dB(A) according to engine size. However, the full effects of these standards will not be felt until the vehicle fleet is replaced over, say, 10-12 years. It is also government policy for existing buildings and housing in black-spot noise areas to be protected with anti-noise screens and sound-proofing, and for greater account to be taken of noise abatement objectives in the location, design and operation of roads.
Emissions
The main emissions from motor vehicles are carbon dioxide (CO2) and what are termed the air pollutants: carbon monoxide (CO), nitrogen oxides (NOx), oxides of sulphur (SOx), hydrocarbons (HC), and lead (Pb) and other particulate matter. Two major concerns arise regarding vehicle emissions: their impact on human health (estimated at about 0.4 per cent of GDP in OECD countries and on global warming.
It is now accepted that vehicle emissions can be the cause of ill-health, e.g. irritation of cardio-respiratory, eye or other systems, acute toxic systemic effects, mutagenic or carcinogenic action, and adverse effects upon the defence mechanism against common infections. However, while the qualitative linkages are well established, quantification is still difficult and controversial. A measure of the potential problem wherever vehicles congregate can be gathered from the fact that in the centre of an average town, motor vehicles usually account for 100 per cent of all CO and Pb levels, at least 60 per cent of NOx and HC levels, about 10 per cent of the SOx level, and 50 per cent of particulate levels.
Certain gases which are in balance in the atmosphere create a natural greenhouse effect that keeps the Earth's surface temperature at a level suitable for life. However, as a result of the world's industrialisation and population increases of the past 200 years, changes have taken place in the composition of the atmosphere which are causing global warming. The rate at which additional warming will occur in the future is very uncertain as the mechanisms involved are complex, and future emissions depend on economic and social factors. The principal gases contributing to global warming are also generated by the motor vehicle; for instance, carbon dioxide contributes about half of the estimated annual increase in warming and road transport currently contributes 14-16 per cent of this gas. Thus, if vehicle emissions continue at their present levels and if predicted global numbers of vehicles are achieved, road traffic's contribution to global warming could help threaten the planet in the long term.
The need to control emissions from vehicles is recognised and Britain is one of 155 nations which signed a treaty (the Rio Declaration) establishing guidelines for this purpose. Steps currently being taken to alleviate this problem include:
• improving vehicle and engine design to reduce emissions from and usage of hydrocarbon fuels
• using state-of-the-art technology to improve traffic flow and reduce congestion
• improving usage of public transport and minimising penalties associated with intermodal freight transfers
• imposing traffic restraint measures to relieve congestion and using improved communication technology to replace person-movements with information flow.
Translation - Indonesian 1.3.3 Dampak terhadap muatan kereta api
Meskipun dengan adanya pertumbuhan ekonomi Inggris, muatan kereta api dalam ton per kilometer menurun sekitar 63 persen antara tahun 1951 dan 1993, sedangkan muatan jalan dalam ton per kilometer meningkat sebesar lebih dari 365 persen. Pertumbuhan muatan jalan tidak diragukan lagi karena efisiensi dan fleksibilitas yang terkait dengan penggunaan truk-truk yang lebih besar untuk melakukan perjalanan yang lebih cepat dengan jarak pintu-ke-pintu yang lebih jauh. Perkembangan baru di bidang manufaktur, seperti produksi tepat waktu dengan permintaan untuk pengiriman tepat waktu, memerlukan fasilitas pengangkutan yang cepat dan sering dan oleh karena itu cenderung untuk mengintensifkan permintaan untuk transportasi muatan berbasis jalan di masa depan (lihat proyeksi pertumbuhan yang besar pada Tabel 17.13). Hal ini terjadi pada suatu saat di mana komoditas curah dengan berat berton-ton (yang paling sesuai diangkut dengan kereta api) sedang menurun jumlahnya.
Hampir tiga perempat dari angka ton per kilometer dari kereta api kini hanya dikhususkan untuk pergerakan empat komoditas: bahan bakar mineral padat (28 persen), mineral dan bahan bangunan (20 persen), produk minyak bumi (14 persen) dan produk logam (12 persen). Namun, Terowongan Channel (dibuka secara operasional pada tahun 1993) memiliki potensi untuk menghasilkan setidaknya kebangkitan parsial untuk transportasi kereta api antar moda dengan memberikan penghematan waktu perjalanan yang signifikan vis-à-vis kendaraan jalan komersial berat yang terlibat langsung dalam pengangkutan barang internasional.
1.3.4 Dampak terhadap lingkungan
Pertumbuhan jumlah dan penggunaan kendaraan bermotor telah menimbulkan dampak buruk pada lingkungan dalam banyak hal, tak sedikit di antaranya adalah melalui kemacetan jalan dan kebisingan kendaraan dan emisi. Kecelakaan jalan (lihat Bab 18) juga merupakan sebuah biaya besar dalam hal keuangan dan kemanusiaan.
Kemacetan
Selain membebankan biaya tinggi pada industri dan pengguna jalan melalui waktu yang terbuang, pengiriman yang tertunda dan keandalan layanan yang berkurang, kemacetan meningkatkan polusi udara, pemanasan global dan penggunaan sumber daya minyak (langka). Di daerah perkotaan, hal itu mendorong pengguna lalu lintas untuk menggunakan jalan-jalan perumahan yang tidak sesuai, dengan demikian membahayakan kualitas hidup rumah-rumah yang berdekatan dengannya. Secara keseluruhan, biaya kemacetan di negara-negara OECD setara dengan sekitar 2 persen dari PDB.
Kemacetan di daerah perkotaan di Inggris saat ini sedang ditangani dengan kebijakan pemerintah yang, terutama, menuju pengintegrasian yang lebih baik dari penggunaan lahan dan perencanaan transportasi, penggunaan yang lebih besar dari angkutan umum di kota-kota, dan paket langkah-langkah manajemen lalu lintas yang ditujukan untuk mengurangi arus lalu lintas di jalan-jalan utama; proposal untuk pembangunan jalan utama di daerah perkotaan tidak sedang didorong. Namun, ada juga minat yang cukup besar di Inggris saat ini (dan tempat-tempat lainnya) dengan kelayakan/kualitas untuk menggunakan tarif jalan untuk mengurangi kemacetan di jalan-jalan perkotaan. Kemacetan di jalan antar kota sedang ditangani dengan pemberian program jalan yang diperluas (yang menekankan pada pelebaran jalan-jalan utama yang telah ada) dan dengan penggunaan teknologi yang ditingkatkan (misalnya sistem pesan variabel dan penggunaan meter-akses bersinyal) untuk memaksimalkan kemudahan pergerakan. Promosi untuk peningkatan penggunaan kereta api sebagai sarana untuk mengurangi kemacetan di jalan antar kota dianggap memiliki nilai praktis yang terbatas; misalnya, diperkirakan bahwa peningkatan 50 persen dari lalu lintas penumpang kereta api akan mengurangi lalu lintas jalan sebesar kurang dari 5 persen.
Kebisingan lalu lintas
Kebisingan dari kendaraan mengganggu tidur, mengganggu kinerja pekerjaan, menghambat proses pembelajaran (terutama di sekolah-sekolah yang dekat dengan jalan raya), menghambat aktivitas sosial dan komunikasi verbal, dan mempengaruhi kesehatan melalui stres yang dihasilkan oleh frustrasi karena kurang tidur dan penurunan kualitas hidup pada umumnya. Banyak studi menunjukkan bahwa untuk memenuhi batas yang diinginkan untuk kesejahteraan di dalam ruangan, tipikal tingkat kebisingan luar ruangan yang dialami selama 24 jam tidak boleh melebihi 65 dB(A). Sekitar 11 persen dari populasi warga Inggris diketahui telah secara teratur terpapar tingkat kebisingan luar ruangan yang melebihi 65 dB(A) pada awal 1980-an sementara lebih dari 39 persen tinggal di daerah 'abu-abu' antara 55-65 dB(A).
Masalah kebisingan lalu lintas sedang ditangani sampai batas tertentu oleh langkah-langkah legislatif dan rekayasa lalu lintas. Misalnya, dari tahun 1995 setiap desain mobil baru tidak boleh melebihi 74 dB(A) saat berakselerasi di gigi rendah pada kecepatan penuh; batas baru untuk jenis terberat kendaraan komersial adalah 80 dB(A) dan sepeda motor baru tidak boleh melebihi 75-80 dB(A) sesuai dengan ukuran mesin. Namun, dampak nyata dari standar-standar ini tidak akan terasa sampai armada kendaraan diganti dalam kurun waktu di atas, katakanlah, 10-12 tahun. Juga merupakan kebijakan pemerintah bagi bangunan dan perumahan yang telah berdiri di daerah kebisingan utama untuk dilindungi dengan layar anti-kebisingan dan kedap-suara, dan untuk pertimbangan lebih besar yang akan diambil, dengan sasaran-sasaran pengurangan kebisingan dalam hal lokasi, desain dan operasi jalan.
Emisi
Emisi utama dari kendaraan bermotor adalah karbon dioksida (CO2) dan apa yang disebut polutan-polutan udara: karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), oksida belerang (SOx), hidrokarbon (HC), dan timbal (Pb) dan partikel-partikel lainnya. Dua masalah utama muncul mengenai emisi kendaraan: dampaknya terhadap kesehatan manusia (diperkirakan sekitar 0,4 persen dari PDB pada negara-negara OECD) dan pemanasan global.
Sekarang telah diterima bahwa emisi kendaraan dapat menjadi penyebab kesehatan yang buruk, misalnya iritasi jantung-pernafasan, mata atau sistem lain, efek sistemik beracun akut, perilaku mutagenik atau karsinogenik, dan efek samping pada mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi yang umum. Namun, sementara hubungan kualitatif telah berkedudukan kuat, kuantifikasi masih sulit dan kontroversial. Sebuah pengukuran masalah potensial di mana pun kendaraan berkumpul dapat dikumpulkan dari fakta bahwa di pusat sebuah kota pada umumnya, kendaraan bermotor biasanya meliputi 100 persen dari semua tingkat CO dan Pb, setidaknya 60 persen dari tingkat NOx dan HC, sekitar 10 persen dari tingkat SOx, dan 50 persen dari tingkat partikel halus.
Gas-gas tertentu yang dalam keadaan seimbang di atmosfer menciptakan efek rumah kaca alami yang membuat suhu permukaan bumi berada pada tingkat yang sesuai untuk kehidupan. Namun, sebagai akibat dari industrialisasi dan populasi dunia yang meningkat dalam 200 tahun terakhir, berbagai perubahan telah terjadi dalam komposisi atmosfer yang menyebabkan pemanasan global. Tingkat di mana pemanasan tambahan akan terjadi di masa depan sangat tidak pasti karena mekanisme yang terlibat sangat kompleks, dan emisi masa depan tergantung pada faktor-faktor ekonomi dan sosial. Gas-gas utama yang berkontribusi terhadap pemanasan global juga dihasilkan oleh kendaraan bermotor; misalnya, karbon dioksida menyumbang sekitar setengah dari perkiraan kenaikan tahunan dalam pemanasan dan transportasi jalan saat ini memberikan kontribusi sebesar 14-16 persen dari gas ini. Jadi, jika emisi kendaraan terus berada pada tingkat mereka saat ini dan jika prediksi jumlah kendaraan global tercapai, kontribusi lalu lintas jalan terhadap pemanasan global dapat membantu mengancam planet Bumi dalam jangka panjang.
Kebutuhan untuk mengendalikan emisi dari kendaraan telah diakui dan Inggris adalah salah satu dari 155 negara yang menandatangani sebuah perjanjian (Deklarasi Rio) yang menetapkan pedoman-pedoman untuk tujuan ini. Langkah-langkah yang saat ini sedang diambil untuk mengatasi masalah ini antara lain:
• meningkatkan desain kendaraan dan mesin untuk mengurangi emisi dari dan penggunaan bahan bakar hidrokarbon
• menggunakan teknologi mutakhir untuk meningkatkan arus lalu lintas dan mengurangi kemacetan
• meningkatkan penggunaan angkutan umum dan meminimalkan sanksi-sanksi yang diasosiasikan dengan transfer muatan barang antar moda
• memaksakan tindakan pengendalian lalu lintas untuk mengurangi kemacetan dan menggunakan teknologi komunikasi yang ditingkatkan untuk menggantikan pergerakan-orang dengan arus informasi.
More
Less
Translation education
Bachelor's degree - Gadjah Mada University
Experience
Years of experience: 10. Registered at ProZ.com: Feb 2015.
Adobe Acrobat, Adobe Photoshop, memoQ, Microsoft Excel, Microsoft Office Pro, Microsoft Word, Aegisub, Cockos REAPER, CorelDRAW, EZTitles, Lingobit Localizer, Passolo, Powerpoint, Trados Studio
- Native Indonesian, fluent American English
- Bachelor of Engineering from the Civil & Environmental Engineering Department, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University
Majored in Transportation Engineering
- HUGE interest in music, guitar, music theory, musical instruments, music technology, audio engineering, home recording, films, IT & popular science (mainly physics)
>>> Contact Info <<<
Primary e-mail: giessendra.pakpahan (at) gmail.com
Secondary e-mail: giessendra.pakpahan (at) yahoo.com
Yahoo Messenger: giessendra.pakpahan
Mobile: provided on request only, please email
Working time: 8 am - 6 pm West Indonesian Time (GMT +7)
Keywords: English to Indonesian, translator, English to Indonesian translator, civil engineering, popular science, music, music theory, musical instruments, music technology, audio engineering. See more.English to Indonesian, translator, English to Indonesian translator, civil engineering, popular science, music, music theory, musical instruments, music technology, audio engineering, audio equipments, IT. See less.